15 Tahun Reformasi, 22 Kasus Korupsi Distop
Oleh : Syahrul Fitra
 Aktivis LBH Padang/Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar

Lima belas tahun lalu, tepatnya 21 Mei 1998, terjadi peristiwa besar yang mengubah bangsa Indonesia. Itulah reformasi. Ribuan mahasiswa turun ke jalan mendesak Presiden Soeharto untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Desakan mundur terhadap Soeharto yang di­gerakkan oleh mahasiswa dan aktivis ketika itu, dilatarbelakangi oleh kondisi Indonesia yang semakin kritis. Gelisah dengan kondisi itu, kalangan aktivis dan mahasiswa turun ke jalan men­desak Presiden Soeharto mundur, adili Soeharto dan kroni-kroninya, lak­sanakan amandemen UUD 1945; peng­hapusan dwi fungsi ABRI, pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya; tegakkan supremasi hukum; ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN. 

Tumbangnya rezim Soeharto, rak­yat Indonesia berharap terjadi pe­rubahan di Indonesia. Pertanyaannya, sudah cita-cita reformasi terwujud setelah 15 tahun reformasi? Atau justru semakin memburuk? Fakta di la­pangan, masih banyak masyarakat miskin yang tidak mampu me­nye­kolahkan anaknya. Jangankan sekolah, untuk makan sehari-hari saja sulit. Sementara kondisi politik yang di­harapkan membaik, ternyata tirani kekuasaan masih kuat dan mengakar. Jika Orde Baru tirani kekuasaan ada di lingkaran keluarga Soeharto, kini berada di tangan petinggi-petinggi partai politik. Bahkan, ada partai politik yang diisi keluarga besar ”pemilik” partai. Alhasi, otonomi daerah tanpa arah ini, menciptakan raja-raja kecil di daerah. 

Apalagi dari aspek penegakan hukum dan HAM. Pedang keadilan hanya tajam ke bawah. Dari hari ke hari, berita kasus korupsi, pelanggaran HAM oleh aparat terus terjadi. Dalam hal kasus korupsi misalnya, Sumatera Barat tak kalah hebat dengan daerah-daerah lain. Saking hebatnya, 22 kasus korupsi di Sumbar dihentikan proses hukumnya oleh kejaksaan (SP3). Yang terpublikasi ke publik hanya kasus-kasus korupsi kelas teri, sedangkan yang melibatkan elite-elite daerah tertutupi. 

SP3 Penuh Tanda Tanya 

Bertepatan pada hari peringatan reformasi 21 Mei lalu, Kejati Sumatera Barat membuat rekor baru dalam penegakan hukum, dengan meng­hentikan proses penyidikan terhadap 22 dugaan kasus korupsi, tanpa sebab yang jelas. Kebijakan itu membuat Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar me­radang, dengan menemui Kajati, Kamis (23/5) lalu. Kajati tidak bisa me­maparkan alasan jelas sebab di­ke­luarkannya SP3, selain alasan klise tidak cukup bukti. Tidak cukup bukti seperti apa, Kajati pun tidak bisa memaparkannya. Merujuk pada hasil pertemuan itu, memberi kesan kuat bahwa SP3 dikeluarkan terburu-buru tanpa pertimbangan matang. Alhasil, Kajati menjanjikan pertemuan lanjutan pada Rabu (29/5) ini, dengan salah satu agenda memaparkan alasan di­ter­bitkannya SP3 terhadap 22 kasus tersebut. 

Terhadap 22 kasus korupsi itu, 10 kasus sudah ditetapkan tersangka. Seperti, kasus penggunaan biaya per­jalanan dinas di bagian umum pada Setkab Solok Selatan tahun anggaran 2009, kasus pengadaan tanah untuk lokasi dan sarana olahraga Kota Pa­riaman tahun anggaran 2007, kasus pekerjaan pembangunan pasar ikan Pasar Bawah Bukittinggi tahun 2009, dan beberapa kasus lainnya.

Khusus yang sudah ditetapkan tersangka, menguatkan prasangka negatif di tengah-tengah masyarakat, apakah penerbitan surat ”hanyut” kasus korupsi itu ada hubungannya dengan tahun politik? Dan sederet spekulasi liar lainnya. Karena itu, sudah seharusnya Kejati mempublikasikan alasan diterbitkan surat SP3 tersebut. Dengan publikasi itu, diharapkan mampu mewujudkan transparansi di tubuh Kejati Sumbar, sebagai upaya reformasi penegakan hukum. 

Reformasi Kejaksaan 

Terbitnya SP3 22 kasus korupsi oleh Kejati Sumbar, momentum bagi semua pihak mendorong reformasi kejaksaan. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain, mengevaluasi Kejati Sumbar oleh Jaksa Agung Muda bagian Pe­ngawasan. Untuk me­mi­ni­malisir praktik mafia hukum di kejak­saan, seharusnya Kejaksaan Agung mengevaluasi Kejadi Sumbar. Tidak hanya evaluasi, beberapa kasus yang mcet di Sumbar sedianya diambil alih KPK. 

Terhadap SP3 22 kasus, sepantasnya dipraperadilankan sebagaimana di­maksud Pasal 77 UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Terhadap praperadilan tersebut, dapat diajukan pihak terkait ataupun pihak ketiga yang memiliki kepentingan (Pasal 79 dan Pasal 80 KUHAP). Pihak ketiga yang memiliki kepentingan ini termasuk LSM atau organisasi kemasyarakatan, sebagaimana dijelaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-X/2012. Semua itu upaya mewujudkan Indonesia bersih korupsi, khususnya Sumbar.

Upaya ini masih bagian kecil dari langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk melawan korupsi. Masih banyak upaya lain yang dapat dilakukan, se­hingga cita-cita reformasi 15 tahun dapat diwujudkan, walaupun kita sadar pe­negakan hukum hanya bagian dari cita-cita reformasi. Tapi di negara hukum ini, hukum mesti ditegakkan sehingga cita-cita reformasi yang lain bisa di­rea­lisasikan. *pernah dimuat di Harian Padang Ekspres.

*tulisan ini pernah dipublikasi di Harian Pagi Padang Ekspres

Integritas Penegakan Hukum di Indonesia

Oleh : Syahrul Fitra
Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Andalas, Kabid Pembinaan Anggota HMI KorKom UNAND

Indonesia, saat ini dihadapkan dengan pelbagai macam permasalah, baik dalam bidang hukum, pemerintahan, pendidikan, ekonomi dan persoalan-persoalan lainnya. Setumpuk permasalahan itu dilatarbelakangi oleh pelbagai faktor, mulai dari faktor masyarakat sampai pada faktor pemerintah sendiri. Salah satu permasalahan yang paling hangat saat ini adalah dalam bidang hukum, hal ini didasarkan atas bayaknya pemberitaan-pemberitaan di media dan semuanya tidak pernah lepas dari lingkup hukum, misalnya saja kasus century, kasus gayus, kasus Hendarman, dan masih banayak lagi kasus-kasus hukum lainnya yang sampai saat ini masih belum terselesaikan.
Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa dalam setiap permasalahan itu pasti dilatar belakangi oleh pelbagai faktor, begitu juga dalam penyelesaiaanya. Dalam lingkup hukum sendiri, seperti yang telah dikemukakan oleh Prof. Dr. Soerjono Soekanto bahwa dalam penegakan hukum itu di latar belakangi oleh lima faktor, pertama faktor hukumnya sendiri dimana dalam hal ini Prof. Soerjono sendiri membatasi hanya dalam lingkup undang-undang dalam artian materil, yaitu peraturan tertulis yang berlaku umum dan di buat oleh pnguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Lebih lanjut lagi Serjono memaparkan yang di maksud dengan peraturan itu ialah Peraturan Pusat yang berlaku untuk semua warga Negara atau suatu golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah Negara, selain itu peraturan setempat yang hanya berlaku di suatu tempat, atau di suatu daerah saja. Mengenai berlakunya peraturan tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar peraturan tersebut berdampak positif, artinya agar peraturan tersebut mencapai tujuannya dan dapat berlaku dengan efektif. Suatu masalah lain yang dijumpai dalam peraturan kususnya dalam Undang-Undang adalah tidak terdapatnya peraturan pelaksana, padahal di dalam undang-undang tersebut diperintahkan demikian. Dalam praktek sendiri kita biasa melihat beberapa undang-undang seperti demikian, diantaranya Undang-Undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan padahal undang-undang ini paling sering berurusan dengan masyarakat tapi sampai saat sekarang masih belum memiliki peraturan pelaksana. Selain hal itu dalam lingkup perundang-undangan masih banyak terjadi multi tafsir yang pada akhirnya bermuara di Mahkamah Konstitusi (MK), hal itu bisa terjadi karna masih buruknya kualitas dari peraturan yang dibuat, di tambah lagi masih banyak peraturan yang di buat untuk di gagalkan seperti yang di kemukakan oleh Kevin Evan salah seorang peneliti di sebuah NGO Internasional salah satu buktinya dapat kita lihat pada UU Badan Hukum Pendidikan dimana belum berapa lama di undangkan dalam lembaran Negara langsung mendapat gugutan dari masyarakat dan akhirnya bermuara dengan putusan MK yang menyatakan bahwa undang-undang itu di batalkan.
Faktor kedua menurut Prof. Soerjono ialah faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, namun dalam hal ini yang dimaksud dengan penegak hukum akan dibatasi pada kalangan yang langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga peace maintenance. Kalangan yang mencakup yakni mereka yang bertugas di bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan. Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum mempunyai kedudukan dan peranan. Oleh karena itu orang yang memiliki kedudukan tertentu, lazim disebut orang yang mempunyai peranan (role occupant). Kedudukan tersebut sebenarnya suatu wadah yang berisikan kewajiban-kewajiban dan hak-hak tertentu yang harus di penuhi, sehingga itulah nantiya yang akan menjadi peran dari penegak hukum itu. Penegak hukum dalam menjalankan perannya tidak dapat berbuat sesuka hati mereka juga harus memperhatikan etika yang berlaku dalam lingkup profesinya, dimana James J. Spillane SJ mengungkapkan bahwa etika atau ethics memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Dalam profesi penegak hukum sendiri mereka telah memiliki kode etik yang diatur tersendiri, tapi dalam prakteknya kode etik yang telah ditetapkan dan di sepakati itu masih banyak di langgar oleh para penegak hukum misalkan saja seperti beberapa kasus akhir-akhir ini dimana tersangkanya adalah para penegak hukum yang diharapkan dapat menegakkan supermasi hukum di Negara ini contohnya saja Jaksa Urip Tri Guanawan, Antasari, dan masih banyak lagi para jaksa, hakim, dan pengacara lainnya yang terlibat dalam kasus penyuapan, pemerasan dan kasus-kasus pidana lainnya. Akibat perbuatan-perbuatan para penegak hukum yang tidak memiliki integritas bahkan dapat dikatakan tidak beretika dalam menjalankan profesinya, sehingga mengakibatkan lambatnya pembangunan hukum yang diharapkan oleh bangsa ini, bahkan menimbulkan pikiran-pikiran negative dari masyarakat terhadap penegak hukum lainnya, dan lama-kelamaan kepercayaan pada hukum-pun akan semakin sirna.
Faktor ketiga yaitu faktor sarana atau fasilitas yang membantu penegakan hukum, Prof. Soerjono sendiri menyatakan bahwa tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar tanpa adanya sarana atau fasilitas yang memadai. Fasilitas atau sarana yang memadai tersebut, antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal itu tidak terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Kita bisa bayangkan bagaimana penegakan peraturan akan berjalan sementara aparat penegaknya memiliki pendidikan yang tidak memadai, memiliki tata kelola organisasi yang buruk, di tambah dengan keuangan yang minim. Akan tetapi hal itu bukanlah segala-galanya kalau aparatnya sendiri masih buruk, karna sebaik apapun sarana atau fasilitas yang membantu penegakkan hukum tanpa adanya aparat penegak hukum yang baik hal itu hanya akan terasa sia-sia. Hal itu dapat kita lihat misalnya pada insatasi kepolisian, dimana saat ini hampir bisa dikatakan dalam hal fasilitas pihak ke polisian sudah dapat dikatakan mapan, tapi berdasarkan survey yang dilakukan oleh lembaga Transparency International Indonesia menyatakan bahwa instasi terkorup saat ini ada di tubuh ke polisian dengan indeks suap sebesar 48 %, bentuk korupsi yang terjadi di tubuh kepolisian itu contohnya saja seperti korupsi kecil-kecilan oleh Polisi Lantas yang mungkin sering dialami oleh pengendara, sampai ke tingkat yang lebih tinggi semisal tersangka kasus korupsi Susno. Begitujuga Dalam ligkup pengadilan dan kejaksaan pun tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di institusi kepolisian.
Faktor keempat yakninya faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat, Sehingga dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat memiliki andil yang sangat besar dalam mempengaruhi penegakan hukum. Karena hukum itu sendiri berasal dari masyarakat dan diterapkan juga dalam kehidupan sosial masyarakat atau bisa disebut sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Setiap perkembangan-perkembangan dan kemerosotan yang terjadi di dalam masyarakat akan terus berpengaruh terhadap perkembangan hukum dan tanggapan masyarakat terhadap hukum itu sendiri, di Indonesia permasalahan penegakan hukum dimasyarakat pun tidak dapat dihindari seperti yang dikemukakan oleh Amir Syamsuddin dalam bukunya Integritas Penegak Hukum bahwa salah satu fakta yang menandai kondisi gagalnya penegakan hukum di Indonesia ialah kondisi masyarakat yang rapuh dan sedang mengalami pseudoreformatie syindrome. Selain itu Amir juga menyatakan bahwa kondisi masyarakat saat ini hanya melihat segala sesuatu dari keadaan yang bertentangan seperti benar-salah, hitam-putih, menang-kalah, halal-haram, dan sebagainya. Hasilnya di sana sini orang bisa saja saling cela seenaknya, saling bakar, saling bunuh, sehingga tidak memperhatikan norma-norma hukum yang berlaku. Keadaan ini seperti ini bisa menghasilkan sebuah kondisi Negara yang tanpa hukum atau state of normlesness dan menciptakan masyarakat yang membabi buta atau blind society. Permasalahan ini juga terkait dengan faktor penegakan hukum yang kelima seperti yang dimaksud oleh Prof. Soerjono yaitu faktor kebudayaan, yang terkait dengan hasil karya dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. Sementara itu menurut Prof. Satjipto Rahardjo hal itu bisa terjadi karna masyarakat khususnya dikalangan orang-orang yang mempelajari hukum, konsep pembelajaran yang dikenalkan hingga kini adalah pendidikan hukum dogmatis (rechtsdogmatig) seolah menjadi satu-satunya model pendidikan hukum, yang melahirkan pemikiran-pemikiran yang legalisti dan positivistik tidak hanya itu melainkan juga melahirkan orang-orang yang memahami hukum secara kaku.
Salah satu bentuk permasalah hukum dalam lingkup faktor masyarakat dan budaya dapat kita sakasikan di Indonesia, seperti halnya permasalah atas undang-undang pornografi dimana hingga saat sekarang masih mendapat penolakan dari masyarakat terutama dari kalangan budayawan. Masyarakat pada saat sekarng menuntut adanya supermasi hukum, bahkan sampai melakukan domonstrasi untuk mendesak aparat penegak hukum supaya cepat menuntaskan kasus-kasus yang ada, terutama dalam kasus korupsi yang merugikan Negara triliunan rupiah. Anehnya saat sekarang ini ketika masyarakat semakin banyak melakukan penuntutan untuk pencepatan penyelesaian suatu kasus, pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri semakin tinggi, dapat kita lihat ketika masyarakat melakukan suatu demonstrasi yang akhirnya berujung anarkis. Dalam berlalu lintas, sanagat banayak masyarakat yang tidak mematuhi peraturan lalu lintas seperti tidak menggunakan helem, menerobos lampu merah dan pelanggaran-pelanggaran lainnya, dan ketika mereka di tilang oleh Polisi kebanyakan masyarakat cenderung untuk membayar Polisi ketimbang menyelesaikannya secara prosedural, sehingga masyarakat sendirilah yang mengajari aparat penegak hukum itu untuk korupsi dengan pola prilaku curangnya, pola prilaku demikian tidak hanya terjadi dalam hal pelanggaran lalu lintas, akan tetapi juga terjadi dalam sekto-sektor pemerintahan. Kalau pola prilaku curang dan ingin cepat selesai itu masih tetap di pertahankan oleh masyarakat maka sudah dapat dipastikan bahwa supermasi hukum di Negara ini tidak akan pernah tercapai sama sekali.
Di lain pihak, masyarakat Indonesia terdiri dari orang-orang yang “pintar” hukum atau yang menamakan ahli hukum, tetapi pertumbuhan hukum kita seakan-akan berjalan di tempat. hukum dan keadilan serasa tidak pernah bersatu ketika kita masih menyaksikan fungsi institusi dan aparatur hukum masih belum berhasil mempertautkan harapan keadilan dan keadilan dalam kenyataan, karna masyarakat hukum kita saat sekarang ini juga sedang rapuh, dengan kondisi jukstopotitutional. Jadi marilah kita sebagai masyarakat secara bersama-sama mengawal penegakan hukum di Negara ini, jangan pernah lagi membiasakan “budaya” suap baik itu terhadap instasi-instasi pemerintahan maupun terhadap lembaga-lmbaga penegak hukum, semoga Negara Hukum yang kita citakan selama ini dapat tercapai dengan baik, serta bangsa ini akan menciptakan orang-orang yang memiliki integritas dan moral yang baik, dan dapat berkompetisi di era global ini.

Syahrul Fitra: Kebijakan Setengah Hati Dunia Kesehatan

Syahrul Fitra: Kebijakan Setengah Hati Dunia Kesehatan

Kebijakan Setengah Hati Dunia Kesehatan




Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kesehatan sendiri menurut UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dari pengertian kesehatan berdasarkan UU Kesehatan diatas maka jelaslah bahwa kesehatan itu bukan hanya sekedar HAM semata akan tetapi kesehatan juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi Negara. Secara logika hal itu benar adanya karena semakin banyak orang sehat maka tingkat produktifitas seseorang tersebut akan semakin tinggi, nantinya akan meningkatkan derajat hidup mereka sendiri, secara otomatis tingkat perekonomian negarapun akan semakin membaik. Kesehatan yang baik juga akan menjadi investasi bagi pembangunan sosial dan ekonomi nantinya.

Karena sangat besarnya pengaruh kesehatan, maka hal itu juga memberikan tanggung jawab yang besar terhadap Negara supaya bisa mempertahahankan tingkat kesehatan warganya, salah satu upaya itu telah dilakukan oleh pemerintah dengan cara mengalokasikan sebagain APBN untuk dana pelayanan kesehatan. Akan tertapi tanggung jawab negara tidak hanya sebatas itu saja, karna luasnya lingkup kesehatan itu sendiri, tanggung jawab ngarapun akan bertambah, salah satunya adalah menyediakan lingkungan yang sehat dan juga memberika informasi seputar kesehatan, sehingga septiap orang bisa memahami akan arti pentingnya kesehatan itu, setidaknya mereka bisa menjaga kesehatan lingkungan mereka sendiri. Permasalahan yang terjadi adalah ketika masyarakat tidak peduli akan ligkunggannya dan pemerintahpun seakan tutup mata akan realita yang terjadi dimasyarakatnya sendri.

Perhatian pemerintah terhadap pelayanan kesehatan saat ini sudah dapat dikatakan lebih baik ketimbang sebelumnya, contohnya saja dengan adanya pelayanan Askeskin yang di peruntukkan bagi keluarga kurang mampu, agar bisa memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai, akan tetapi hal itu juga masih belum maksimal, hal itu dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap pelayanan tersebut, selain itu kurangnya pengawasan dari pemerintah sendiri terhadap pelayanan yang telah diberikan kepada masyarakat sehingga seringkali fasilitas yang diberikan tidak tepat sasaran. Salah satu permasalah yang dihadapi juga dalam pemberian pelayanan Askeskin itu ialah tidak maksimalnya pelayanan dari tenaga kesehatan sendiri terhadap mereka yang menggunakan askeskin. Selain pelayanan askeskin dibeberapa daerah juga telah memberlakukan pengobatan gratis di tiap-tiap Puskesmas, akan tetapi permasalahnnya masih tetap sama yaitu kurangnya sosialisasi kepada masyarakat, sehingga mereka tidak mengetahui hal itu, bahkan ironisnya orang yang tinggal berdekatan dengan puskemas sendiri tidak tahu bahwa di puskesmas mereka bisa mendapatkan pengobatan gratis, sehingga mereka lebih memilih pengobatan alternatif yang lebih murah ketimbang pengobtan di puskesmas, hal ini terjadi karena urangnya sosialisasi yang diberikan kepada masyarakat. Penyebab malasnya masyarakat berobat ke puskesmaspun juga dilatar belakangi oleh faktor-faktor lain seperti tidak strategisnya lokasi puskesmas sehingga membutuhkan biaya yang besar untuk menuju ke lokasi puskesmas itu sendiri, selain itu juga akibat banyaknya puskesmas yang tutup lebih cepat dari jadwal yang ditetukan, atau bahkan tidak adanya petugas ketika ada pasien yang membutuhkan tindakan cepat.

Kekurangan-kekurangan dalam pelayanan kesehatan yang terjadi dilapangan seakan-akan mencerminkan masih setengah hati pemerintah dalam memberikan pelayanan terhadap warganya. Yang pada dasarnya hal itu juga akan sangat merugikan negara kedepannya. Kita berharap semoga pemerintah dapat menigkatkan lagi pelayanan yang telah diberikannya, salah satunya dengan melakukan sosialisasi yang lebih gencar lagi kepada masyarakat dan melakukan pengawasan yang lebih maksimal dalam tiap-tiap pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, sehingga pelayanan itu akan tepat sasaran.

(tulisan ini sudah pernah dimuat di Di Media Indonesia, Tanggal 15 November 2010 di Kolom Opini Publik)

Mengenai Saya

Foto saya
Lahir di kota kecil Sumatra Barat, tepatnya di Bukittinggi, pada bulan Mei 1989, dibesarkan di Pincuran Tilatang Kamang. SD, SMP,dan SMA di selesaikan di Tilatang Kamang dan hijrah ke Padang pada tahun 2007 untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Andalas, dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum tahun 2011. Pada pertengahan 2013, melanjutkan studi pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan konsentrasi hukum ekonomi. Pada tahun 2010-2013 mengabdi sebagai PBH di YLBHI kantor LBH Padang. Pernah aktif di beberapa organisasi mahasiswa diantaranya BPM FHUA Ekstensi 2002-2008, HMI Cabang Padang 2008 sampai sekarang, PERMAHI Cabang Padang 2009 sampai sekarang, BEM Fakultas Hukum UNAND 2009-2010.

Tentang blog ini

Blog ini dibuat, sekedar berbagi dan mencurahkan pemikiran saya secara pribadi.