15 Tahun Reformasi, 22 Kasus Korupsi Distop
Oleh : Syahrul Fitra
Aktivis LBH Padang/Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar
Lima belas tahun lalu, tepatnya 21 Mei 1998, terjadi peristiwa besar yang mengubah bangsa Indonesia. Itulah reformasi. Ribuan mahasiswa turun ke jalan mendesak Presiden Soeharto untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Desakan mundur terhadap Soeharto yang digerakkan oleh mahasiswa dan aktivis ketika itu, dilatarbelakangi oleh kondisi Indonesia yang semakin kritis. Gelisah dengan kondisi itu, kalangan aktivis dan mahasiswa turun ke jalan mendesak Presiden Soeharto mundur, adili Soeharto dan kroni-kroninya, laksanakan amandemen UUD 1945; penghapusan dwi fungsi ABRI, pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya; tegakkan supremasi hukum; ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN.
Tumbangnya rezim Soeharto, rakyat Indonesia berharap terjadi perubahan di Indonesia. Pertanyaannya, sudah cita-cita reformasi terwujud setelah 15 tahun reformasi? Atau justru semakin memburuk? Fakta di lapangan, masih banyak masyarakat miskin yang tidak mampu menyekolahkan anaknya. Jangankan sekolah, untuk makan sehari-hari saja sulit. Sementara kondisi politik yang diharapkan membaik, ternyata tirani kekuasaan masih kuat dan mengakar. Jika Orde Baru tirani kekuasaan ada di lingkaran keluarga Soeharto, kini berada di tangan petinggi-petinggi partai politik. Bahkan, ada partai politik yang diisi keluarga besar ”pemilik” partai. Alhasi, otonomi daerah tanpa arah ini, menciptakan raja-raja kecil di daerah.
Apalagi dari aspek penegakan hukum dan HAM. Pedang keadilan hanya tajam ke bawah. Dari hari ke hari, berita kasus korupsi, pelanggaran HAM oleh aparat terus terjadi. Dalam hal kasus korupsi misalnya, Sumatera Barat tak kalah hebat dengan daerah-daerah lain. Saking hebatnya, 22 kasus korupsi di Sumbar dihentikan proses hukumnya oleh kejaksaan (SP3). Yang terpublikasi ke publik hanya kasus-kasus korupsi kelas teri, sedangkan yang melibatkan elite-elite daerah tertutupi.
SP3 Penuh Tanda Tanya
Bertepatan pada hari peringatan reformasi 21 Mei lalu, Kejati Sumatera Barat membuat rekor baru dalam penegakan hukum, dengan menghentikan proses penyidikan terhadap 22 dugaan kasus korupsi, tanpa sebab yang jelas. Kebijakan itu membuat Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar meradang, dengan menemui Kajati, Kamis (23/5) lalu. Kajati tidak bisa memaparkan alasan jelas sebab dikeluarkannya SP3, selain alasan klise tidak cukup bukti. Tidak cukup bukti seperti apa, Kajati pun tidak bisa memaparkannya. Merujuk pada hasil pertemuan itu, memberi kesan kuat bahwa SP3 dikeluarkan terburu-buru tanpa pertimbangan matang. Alhasil, Kajati menjanjikan pertemuan lanjutan pada Rabu (29/5) ini, dengan salah satu agenda memaparkan alasan diterbitkannya SP3 terhadap 22 kasus tersebut.
Terhadap 22 kasus korupsi itu, 10 kasus sudah ditetapkan tersangka. Seperti, kasus penggunaan biaya perjalanan dinas di bagian umum pada Setkab Solok Selatan tahun anggaran 2009, kasus pengadaan tanah untuk lokasi dan sarana olahraga Kota Pariaman tahun anggaran 2007, kasus pekerjaan pembangunan pasar ikan Pasar Bawah Bukittinggi tahun 2009, dan beberapa kasus lainnya.
Khusus yang sudah ditetapkan tersangka, menguatkan prasangka negatif di tengah-tengah masyarakat, apakah penerbitan surat ”hanyut” kasus korupsi itu ada hubungannya dengan tahun politik? Dan sederet spekulasi liar lainnya. Karena itu, sudah seharusnya Kejati mempublikasikan alasan diterbitkan surat SP3 tersebut. Dengan publikasi itu, diharapkan mampu mewujudkan transparansi di tubuh Kejati Sumbar, sebagai upaya reformasi penegakan hukum.
Reformasi Kejaksaan
Terbitnya SP3 22 kasus korupsi oleh Kejati Sumbar, momentum bagi semua pihak mendorong reformasi kejaksaan. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain, mengevaluasi Kejati Sumbar oleh Jaksa Agung Muda bagian Pengawasan. Untuk meminimalisir praktik mafia hukum di kejaksaan, seharusnya Kejaksaan Agung mengevaluasi Kejadi Sumbar. Tidak hanya evaluasi, beberapa kasus yang mcet di Sumbar sedianya diambil alih KPK.
Terhadap SP3 22 kasus, sepantasnya dipraperadilankan sebagaimana dimaksud Pasal 77 UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Terhadap praperadilan tersebut, dapat diajukan pihak terkait ataupun pihak ketiga yang memiliki kepentingan (Pasal 79 dan Pasal 80 KUHAP). Pihak ketiga yang memiliki kepentingan ini termasuk LSM atau organisasi kemasyarakatan, sebagaimana dijelaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-X/2012. Semua itu upaya mewujudkan Indonesia bersih korupsi, khususnya Sumbar.
Upaya ini masih bagian kecil dari langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk melawan korupsi. Masih banyak upaya lain yang dapat dilakukan, sehingga cita-cita reformasi 15 tahun dapat diwujudkan, walaupun kita sadar penegakan hukum hanya bagian dari cita-cita reformasi. Tapi di negara hukum ini, hukum mesti ditegakkan sehingga cita-cita reformasi yang lain bisa direalisasikan.
*pernah dimuat di Harian Padang Ekspres.
*tulisan ini pernah dipublikasi di Harian Pagi Padang Ekspres
1 komentar:
Wah...kakak keren sudah dimuat di surat kabar.... :) Semangat kak...
Posting Komentar