Integritas Penegakan Hukum di Indonesia

Oleh : Syahrul Fitra
Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Andalas, Kabid Pembinaan Anggota HMI KorKom UNAND

Indonesia, saat ini dihadapkan dengan pelbagai macam permasalah, baik dalam bidang hukum, pemerintahan, pendidikan, ekonomi dan persoalan-persoalan lainnya. Setumpuk permasalahan itu dilatarbelakangi oleh pelbagai faktor, mulai dari faktor masyarakat sampai pada faktor pemerintah sendiri. Salah satu permasalahan yang paling hangat saat ini adalah dalam bidang hukum, hal ini didasarkan atas bayaknya pemberitaan-pemberitaan di media dan semuanya tidak pernah lepas dari lingkup hukum, misalnya saja kasus century, kasus gayus, kasus Hendarman, dan masih banayak lagi kasus-kasus hukum lainnya yang sampai saat ini masih belum terselesaikan.
Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa dalam setiap permasalahan itu pasti dilatar belakangi oleh pelbagai faktor, begitu juga dalam penyelesaiaanya. Dalam lingkup hukum sendiri, seperti yang telah dikemukakan oleh Prof. Dr. Soerjono Soekanto bahwa dalam penegakan hukum itu di latar belakangi oleh lima faktor, pertama faktor hukumnya sendiri dimana dalam hal ini Prof. Soerjono sendiri membatasi hanya dalam lingkup undang-undang dalam artian materil, yaitu peraturan tertulis yang berlaku umum dan di buat oleh pnguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Lebih lanjut lagi Serjono memaparkan yang di maksud dengan peraturan itu ialah Peraturan Pusat yang berlaku untuk semua warga Negara atau suatu golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah Negara, selain itu peraturan setempat yang hanya berlaku di suatu tempat, atau di suatu daerah saja. Mengenai berlakunya peraturan tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar peraturan tersebut berdampak positif, artinya agar peraturan tersebut mencapai tujuannya dan dapat berlaku dengan efektif. Suatu masalah lain yang dijumpai dalam peraturan kususnya dalam Undang-Undang adalah tidak terdapatnya peraturan pelaksana, padahal di dalam undang-undang tersebut diperintahkan demikian. Dalam praktek sendiri kita biasa melihat beberapa undang-undang seperti demikian, diantaranya Undang-Undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan padahal undang-undang ini paling sering berurusan dengan masyarakat tapi sampai saat sekarang masih belum memiliki peraturan pelaksana. Selain hal itu dalam lingkup perundang-undangan masih banyak terjadi multi tafsir yang pada akhirnya bermuara di Mahkamah Konstitusi (MK), hal itu bisa terjadi karna masih buruknya kualitas dari peraturan yang dibuat, di tambah lagi masih banyak peraturan yang di buat untuk di gagalkan seperti yang di kemukakan oleh Kevin Evan salah seorang peneliti di sebuah NGO Internasional salah satu buktinya dapat kita lihat pada UU Badan Hukum Pendidikan dimana belum berapa lama di undangkan dalam lembaran Negara langsung mendapat gugutan dari masyarakat dan akhirnya bermuara dengan putusan MK yang menyatakan bahwa undang-undang itu di batalkan.
Faktor kedua menurut Prof. Soerjono ialah faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, namun dalam hal ini yang dimaksud dengan penegak hukum akan dibatasi pada kalangan yang langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga peace maintenance. Kalangan yang mencakup yakni mereka yang bertugas di bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan. Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum mempunyai kedudukan dan peranan. Oleh karena itu orang yang memiliki kedudukan tertentu, lazim disebut orang yang mempunyai peranan (role occupant). Kedudukan tersebut sebenarnya suatu wadah yang berisikan kewajiban-kewajiban dan hak-hak tertentu yang harus di penuhi, sehingga itulah nantiya yang akan menjadi peran dari penegak hukum itu. Penegak hukum dalam menjalankan perannya tidak dapat berbuat sesuka hati mereka juga harus memperhatikan etika yang berlaku dalam lingkup profesinya, dimana James J. Spillane SJ mengungkapkan bahwa etika atau ethics memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Dalam profesi penegak hukum sendiri mereka telah memiliki kode etik yang diatur tersendiri, tapi dalam prakteknya kode etik yang telah ditetapkan dan di sepakati itu masih banyak di langgar oleh para penegak hukum misalkan saja seperti beberapa kasus akhir-akhir ini dimana tersangkanya adalah para penegak hukum yang diharapkan dapat menegakkan supermasi hukum di Negara ini contohnya saja Jaksa Urip Tri Guanawan, Antasari, dan masih banyak lagi para jaksa, hakim, dan pengacara lainnya yang terlibat dalam kasus penyuapan, pemerasan dan kasus-kasus pidana lainnya. Akibat perbuatan-perbuatan para penegak hukum yang tidak memiliki integritas bahkan dapat dikatakan tidak beretika dalam menjalankan profesinya, sehingga mengakibatkan lambatnya pembangunan hukum yang diharapkan oleh bangsa ini, bahkan menimbulkan pikiran-pikiran negative dari masyarakat terhadap penegak hukum lainnya, dan lama-kelamaan kepercayaan pada hukum-pun akan semakin sirna.
Faktor ketiga yaitu faktor sarana atau fasilitas yang membantu penegakan hukum, Prof. Soerjono sendiri menyatakan bahwa tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar tanpa adanya sarana atau fasilitas yang memadai. Fasilitas atau sarana yang memadai tersebut, antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal itu tidak terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Kita bisa bayangkan bagaimana penegakan peraturan akan berjalan sementara aparat penegaknya memiliki pendidikan yang tidak memadai, memiliki tata kelola organisasi yang buruk, di tambah dengan keuangan yang minim. Akan tetapi hal itu bukanlah segala-galanya kalau aparatnya sendiri masih buruk, karna sebaik apapun sarana atau fasilitas yang membantu penegakkan hukum tanpa adanya aparat penegak hukum yang baik hal itu hanya akan terasa sia-sia. Hal itu dapat kita lihat misalnya pada insatasi kepolisian, dimana saat ini hampir bisa dikatakan dalam hal fasilitas pihak ke polisian sudah dapat dikatakan mapan, tapi berdasarkan survey yang dilakukan oleh lembaga Transparency International Indonesia menyatakan bahwa instasi terkorup saat ini ada di tubuh ke polisian dengan indeks suap sebesar 48 %, bentuk korupsi yang terjadi di tubuh kepolisian itu contohnya saja seperti korupsi kecil-kecilan oleh Polisi Lantas yang mungkin sering dialami oleh pengendara, sampai ke tingkat yang lebih tinggi semisal tersangka kasus korupsi Susno. Begitujuga Dalam ligkup pengadilan dan kejaksaan pun tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di institusi kepolisian.
Faktor keempat yakninya faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat, Sehingga dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat memiliki andil yang sangat besar dalam mempengaruhi penegakan hukum. Karena hukum itu sendiri berasal dari masyarakat dan diterapkan juga dalam kehidupan sosial masyarakat atau bisa disebut sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Setiap perkembangan-perkembangan dan kemerosotan yang terjadi di dalam masyarakat akan terus berpengaruh terhadap perkembangan hukum dan tanggapan masyarakat terhadap hukum itu sendiri, di Indonesia permasalahan penegakan hukum dimasyarakat pun tidak dapat dihindari seperti yang dikemukakan oleh Amir Syamsuddin dalam bukunya Integritas Penegak Hukum bahwa salah satu fakta yang menandai kondisi gagalnya penegakan hukum di Indonesia ialah kondisi masyarakat yang rapuh dan sedang mengalami pseudoreformatie syindrome. Selain itu Amir juga menyatakan bahwa kondisi masyarakat saat ini hanya melihat segala sesuatu dari keadaan yang bertentangan seperti benar-salah, hitam-putih, menang-kalah, halal-haram, dan sebagainya. Hasilnya di sana sini orang bisa saja saling cela seenaknya, saling bakar, saling bunuh, sehingga tidak memperhatikan norma-norma hukum yang berlaku. Keadaan ini seperti ini bisa menghasilkan sebuah kondisi Negara yang tanpa hukum atau state of normlesness dan menciptakan masyarakat yang membabi buta atau blind society. Permasalahan ini juga terkait dengan faktor penegakan hukum yang kelima seperti yang dimaksud oleh Prof. Soerjono yaitu faktor kebudayaan, yang terkait dengan hasil karya dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. Sementara itu menurut Prof. Satjipto Rahardjo hal itu bisa terjadi karna masyarakat khususnya dikalangan orang-orang yang mempelajari hukum, konsep pembelajaran yang dikenalkan hingga kini adalah pendidikan hukum dogmatis (rechtsdogmatig) seolah menjadi satu-satunya model pendidikan hukum, yang melahirkan pemikiran-pemikiran yang legalisti dan positivistik tidak hanya itu melainkan juga melahirkan orang-orang yang memahami hukum secara kaku.
Salah satu bentuk permasalah hukum dalam lingkup faktor masyarakat dan budaya dapat kita sakasikan di Indonesia, seperti halnya permasalah atas undang-undang pornografi dimana hingga saat sekarang masih mendapat penolakan dari masyarakat terutama dari kalangan budayawan. Masyarakat pada saat sekarng menuntut adanya supermasi hukum, bahkan sampai melakukan domonstrasi untuk mendesak aparat penegak hukum supaya cepat menuntaskan kasus-kasus yang ada, terutama dalam kasus korupsi yang merugikan Negara triliunan rupiah. Anehnya saat sekarang ini ketika masyarakat semakin banyak melakukan penuntutan untuk pencepatan penyelesaian suatu kasus, pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri semakin tinggi, dapat kita lihat ketika masyarakat melakukan suatu demonstrasi yang akhirnya berujung anarkis. Dalam berlalu lintas, sanagat banayak masyarakat yang tidak mematuhi peraturan lalu lintas seperti tidak menggunakan helem, menerobos lampu merah dan pelanggaran-pelanggaran lainnya, dan ketika mereka di tilang oleh Polisi kebanyakan masyarakat cenderung untuk membayar Polisi ketimbang menyelesaikannya secara prosedural, sehingga masyarakat sendirilah yang mengajari aparat penegak hukum itu untuk korupsi dengan pola prilaku curangnya, pola prilaku demikian tidak hanya terjadi dalam hal pelanggaran lalu lintas, akan tetapi juga terjadi dalam sekto-sektor pemerintahan. Kalau pola prilaku curang dan ingin cepat selesai itu masih tetap di pertahankan oleh masyarakat maka sudah dapat dipastikan bahwa supermasi hukum di Negara ini tidak akan pernah tercapai sama sekali.
Di lain pihak, masyarakat Indonesia terdiri dari orang-orang yang “pintar” hukum atau yang menamakan ahli hukum, tetapi pertumbuhan hukum kita seakan-akan berjalan di tempat. hukum dan keadilan serasa tidak pernah bersatu ketika kita masih menyaksikan fungsi institusi dan aparatur hukum masih belum berhasil mempertautkan harapan keadilan dan keadilan dalam kenyataan, karna masyarakat hukum kita saat sekarang ini juga sedang rapuh, dengan kondisi jukstopotitutional. Jadi marilah kita sebagai masyarakat secara bersama-sama mengawal penegakan hukum di Negara ini, jangan pernah lagi membiasakan “budaya” suap baik itu terhadap instasi-instasi pemerintahan maupun terhadap lembaga-lmbaga penegak hukum, semoga Negara Hukum yang kita citakan selama ini dapat tercapai dengan baik, serta bangsa ini akan menciptakan orang-orang yang memiliki integritas dan moral yang baik, dan dapat berkompetisi di era global ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Lahir di kota kecil Sumatra Barat, tepatnya di Bukittinggi, pada bulan Mei 1989, dibesarkan di Pincuran Tilatang Kamang. SD, SMP,dan SMA di selesaikan di Tilatang Kamang dan hijrah ke Padang pada tahun 2007 untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Andalas, dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum tahun 2011. Pada pertengahan 2013, melanjutkan studi pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan konsentrasi hukum ekonomi. Pada tahun 2010-2013 mengabdi sebagai PBH di YLBHI kantor LBH Padang. Pernah aktif di beberapa organisasi mahasiswa diantaranya BPM FHUA Ekstensi 2002-2008, HMI Cabang Padang 2008 sampai sekarang, PERMAHI Cabang Padang 2009 sampai sekarang, BEM Fakultas Hukum UNAND 2009-2010.

Tentang blog ini

Blog ini dibuat, sekedar berbagi dan mencurahkan pemikiran saya secara pribadi.